Senin, 10 Juli 2017

Belajar dari Kesalahan Orang Lain


Salah satu premis buku-buku yang saya tulis adalah bagaimana mempermudah
hidup seseorang hanya dengan membaca. Buku-buku how-to, bisnis, dan motivasi
yang telah saya terbitkan, semua mempunyai premis yang tidak mengenal batasbatas
budaya dan geografis.
Lantas, mengapa membaca? Karena, dengan membaca tulisan-tulisan yang
bermuara dari pengalaman pribadi penulisnya, kita bisa mempelajari kesalahankesalahan
dan kegagalan-kegagalan mereka sehingga kita tidak perlu
mengulanginya. Jelasnya, dengan membaca kita diberi kesempatan untuk test drive
dengan simulator secara cuma-cuma, tanpa perlu mengalami kepahitan hidup
seperti yang mereka alami. Cukup dengan menerima informasi dengan hati terbuka
dan pikiran yang siap menyerapnya, kita mestinya sudah bisa belajar dari kesalahan
orang lain.
Lantas, apakah hanya dengan membaca? Jelas tidak. Setiap saat indera kita bekerja,
kita sedang belajar dari Universitas Kehidupan. Saya dan Anda, kita semua, dalam
setiap detik mengalami pembelajaran baik secara sadar maupun tidak sadar. Apa
yang kita lihat, dengar, dan rasakan, adalah materi pembelajaran. Bagaimana kita
memulung dan menggunakan hasil pulungan itulah yang menjadi bekal hidup di
masa kini dan masa yang akan datang. Istilah memulung dari kehidupan ini saya
pinjam dari Bung Andrias Harefa (terima kasih, istilah ini kena sekali).
Saya kenal banyak orang yang mengulangi kesalahan-kesalahan diri sendiri di masa
lampau. Apalagi kesalahan-kesalahan orang lain. Padahal, jelas-jelas hal-hal
tersebut terjadi di depan matanya sendiri. Misalnya, menurut data statistik,
seseorang yang mempunyai masa kecil kelabu-seperti seringnya dipukul oleh
orangtua-kemungkinan besar ketika mempunyai anak sendiri pun akan menjadi
orangtua yang gemar memukul. Seseorang yang mempunyai orangtua yang kawin
cerai, kemungkinan besar akan menjadi seseorang yang gemar kawin cerai pula.
Apalagi ada kata mutiara yang berkata, "Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya." Ini
jelas merupakan suatu `indoktrinasi' yang terjadi secara tidak disengaja, namun
diperkuat oleh kultur yang mengungkung. Saya sendiri seringkali merasa
terkungkung oleh nosi yang salah kaprah ini. Bahkan sampai hari ini, kadang-kadang
masih timbul suatu keragu-raguan dalam bertindak hanya karena persepsi saya yang
salah atas kehidupan dan di mana saya berdiri.
Sering kali, saya merasa `tidak berdaya' karena masa lalu dan kekhawatiran akan
masa yang akan datang, yang sesungguhnya hanyalah berasal dari indoktrinasi
masa lalu yang salah. (Istilah indoktrinasi di sini saya gunakan dalam konteks yang
sangat relaks, yaitu bagaimana suatu proses penempatan konsep diri yang biasanya
`salah kaprah' tertanam sedalam-dalamnya sehingga sulit digeser.) Beberapa tahun
lalu, saya sangatlah memandang diri sendiri sebagai seseorang dengan latar
belakang keluarga yang tidak begitu sempurna serta tidak punya banyak uang,
sehingga saya merasa menjadi `diri yang cacat'.
Untungnya, dengan tempaan dan mengindoktrinasi diri saya kembali, saya belajar
ulang dari kehidupan dan menghapus segala macam informasi yang membuat
pikiran saya menjadi `cacat'. Ya, bukan saya yang cacat, namun pikiran saya.
Bagaimana saya belajar ulang atas buku kehidupan yang sudah separuh jalan ini
(dengan asumi usia normal manusia 70 tahun)? Mudah saja. Refleksi seperlunya

dan lakukan secara pragmatis. Jangan libatkan perasaan. Kalau dilibatkan pun,
usahakan seminimal mungkin.
Pertama: Setiap solusi pasti ada pemecahannya yang berasal dari pemikiran jernih
saat itu juga. Jelas, pemecahan ini bukan berasal dari pemikiran njelimet tidak karukaruan.
Apalagi kalau dibumbui segala macam nasihat orang lain-yang mungkin
pengalaman hidupnya getir dan pahit-sehingga saran-saran mereka malah
mengungkung hasil akhir dan bukan memberikan solusi.
Karena itu diperlukan latihan memenggal-menggal permasalahan dan mengkotakkotakkannya
dalam ukuran yang kecil, sehingga bisa dicerna dengan mudah. Pilahpilahkan
masalah besar menjadi beberapa masalah kecil, lantas dengan visualisasi
di dalam benak Anda, bayangkan Anda seorang raksasa yang sedang menghantam
masalah-masalah kecil tersebut dalam satu kali sapuan bersih.
Pada saat itu juga masalah hendaknya dipecahkan. Jika tidak memungkinkan, tulis
tindakan lanjutan yang sebenarnya sudah merupakan pemecahan masalah, namun
hanya ditunda sampai waktu dan kesempatan yang tepat. Sesudah itu, jangan
dipikir-pikirkan lagi sampai waktunya untuk diangkat kembali.
Kedua: Membandingkan masalah kita dengan masalah orang lain yang serupa. Dari
pergaulan sehari-hari dan memperhatikan bagaimana anggota keluarga kita
menjalankan kehidupan, kita bias dengan mudah membandingkan suatu situasi yang
kita alami dengan bagaimana cara mereka memecahkan masalah.
Tujuannya bukanlah untuk mengikuti cara mereka dalam memecahkan masalah.
Namun, untuk melihat secara obyektif bagaimana suatu pemecahan masalah
membawa dampak jangka panjang. Misalnya, seorang ibu yang suka memukul
anaknya. Dalam benaknya sudah tertanam anggapan bahwa itulah cara terbaik
dalam mendidik anak yang sedang bermasalah atau sedang nakal-nakalnya. Lantas,
ketika si anak itu sudah mempunyai anak sendiri, cara itu pula yang ia gunakan
untuk mendidik anaknya. Ini cara yang salah karena ia tidak melihat dampak jangka
panjang dari memukul anak ini secara obyektif. Malah, ia mengulangi luka-luka lama.
Intinya, kita mesti dengan jeli melihat bagaimana orang lain bertindak, mengamati
dampak dari perbuatan tersebut, dan mengambil sarinya untuk kepentingan kita
sendiri, terutama dalam memecahkan masalah. Jika cara pemecahan masalah
tersebut kelihatan overacting, seperti si ibu yang gemar memukul tadi, renungkan
cara lain yang lebih kena tanpa menggunakan kekerasan.
Ciri-ciri pemecahan masalah yang salah pun perlu diidentifikasi. Apa saja ciri-cirinya?
Antara lain adalah terlalu berlebihan, terlalu rumit, dan terlalu mementingkan
pandangan sendiri tanpa melibatkan persepsi orang lain. Anda pasti bisa tambahkan
lagi ciri-ciri lainnya apabila mampu melihat dengan obyektif dan saksama bagaimana
orang-orang di sekeliling Anda memecahkan masalah.
Idealnya, suatu masalah dipecahkan dengan solusi yang berasal dari nurani, dari
pemikiran yang obyektif serta jernih. Jangan memperpanjang dan memperumit
masalah. Pilah-pilah masalah besar menjadi masalah-masalah liliput yang bisa
diterjang dalam satu kali hempasan. Belajar dari kesalahan orang lain, jadikan itu
menjadi bagian kita, namun pilih pemecahan yang terbaik dalam situasi kita sendiri.
Hidup itu simpel saja, kok! Ada banyak simulator `gratis' yang bisa memperkenalkan
kita kepada begitu masalah yang belum kita alami. Test drive your life dengan

menggunakan kesalahan orang lain sebagai bahan pembelajaran. Dan, itulah
rahasia sukses saya dalam menghadapi setiap masalah.

Sumber: Belajar dari Kesalahan Orang Lain oleh Jennie S. Bev.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar